Contoh Cerpen



PHOBIA
Karya : Ree Puspita
Pagi yang cerah mengawali hari Minggu ini. Seorang gadis nampak keluar dari sebuah rumah. Namanya Kein perawakannya tinggi kira-kira 160 cm, kulitnya kuning langsat, rambutnya lurus sebahu berwarna agak pirang. Kein keluar rumah mengenakan celana biru selutut dan kaos putih. Dia hendak jogging mengelilingi kompleks bersama temannya, Aldi.
“Ayo Kein!” teriak pemuda yang tak lain adalah Aldi yang sudah menunggu Kein di depan pagar rumah.
“Iya bentar,” balas Kein, “lo stay di rumah ya, jagain mama, gue mau jogging bentar!” lanjutnya dengan sedikit mengancam kakaknya, Indra yang sedang asyik membaca koran di teras rumah.
“Nggak lo suruh juga bakal gue lakuin kali,” sahutnya tak lupa menjulurkan lidah, mengejek.
Kein berlalu dengan acuh menjauhi kakaknya untuk mendekati Aldi. “Maaf lama,” ucap Kein saat telah berdiri di samping Aldi. “Iya nggak papa.” Jawab Aldi.
Mereka berjogging mengelilingi komplek, dengan iringan canda tawa ternyata mereka telah sampai  di taman ujung kompleks. Karena merasa lelah mereka beristirahat di bawah pohon. Menikmati sejuknya udara pagi ini. Ketika sedang asik bercanda,  HP Kein berbunyi.
“Ada apa sih, ganggu aja. ” Cetus Kein setelah mengangkat telfonnya. Aldi yang di sampingnya mendengarkan dengan seksama.
“Galak amat lo jadi cewe,” sahut yang di sebrang, “gue ada perlu bentar, lo pulang dulu!”
“Aldi gue pulang dulu ya, Indra mau pergi!” izin Kein pada Aldi.
“Alah pake minta izin segala,” sahut yang di telfon sambil cekikikan nggak jelas.
“Diem lo!” bentak Kein lalu mematikan telfonnya geram. “Ya udah bareng aja yuk!” ajak Aldi.
Setengah jalan telah mereka tempuh untuk sampai di rumah. Perlahan awan mulai menghitam bersiap menyerbu bumi dengan airnya. Rintik-rintik hujan mulai turun perlahan membasahi tubuh Kein. Kein yang menyadari hal itu lantas bergidik ngeri. Wajahnya jadi sedikit pucat.
“Ayo cepat pulang sebelum hujan!” ajak Kein lalu mempercepat langkahnya. Aldi mengikutinya sambil menatap heran Kein. “Ada apa sih sama si Kein? Kenapa tiba-tiba wajahnya pucat?”  batin Aldi. Kein dan Aldi mempercepat langkah mereka untuk sampai di rumah. “Makasih Al, dah mau nemenin aku. Kamu mau masuk dulu?” kata Kein ketika telah sampai di depan rumahnya.
“Kenapa lo pengen cepat pulang ketika tahu mau hujan?” tanya Aldi tanpa menghiraukan pertanyaan Kein. Yang ditanya tak menjawab, dia hanya menggeleng. “Okelah kalo lo nggak mau cerita.” Aldi berjalan menjauhi Kein. Kein  hendak memanggilnya untuk meminta maaf, namun kata-katanya terasa tercekat di tenggorokan. Kein hanya bisa menatap punggung Aldi yang terus menjauh Aldi. Dengan langkah lesu Kein memasuki rumahnya. Lalu berjalan ke dapur membuat coklat panas.
“Kak Indra, mau coklat panas nggak?” teriak Kein dari dapur. Namun yang menjawab bukan kakaknya tapi mamanya, Salma. “Kenapa harus teriak sayang?” Kein menoleh ke arah sumber suara lalu tersipu mendapati mamanya telah berjalan mendekatinya, “kakakmu sedang pergi bawa mobilmu.” Kein hanya tersenyum mendengarnya lalu lanjut membuat coklat panas. “Sini mama bantuin.”
“Nggak usah ma, biar Kein aja,” tolak Kein. “Oh ya, kira-kira papa kapan pulang ma?
“Kayaknya masih seminggu lagi Kein, kamu sudah kangen papamu ya?”
“Hehe iya ma.” Kein menghirup sedikit uap dari coklat panas buatannya. “Ma, Kein mau nonton TV dulu ya?” pamit Kein, mamanya mengangguk, setuju.
Kein berjalan santai menuju ruang keluarga, membiarkan mamanya di dapur. Kein menyalakan TV lalu duduk bersandar sofa memangku bantal duduk. Tak lama kemudian hujan turun dengan lebat. Kilat menyambar-nyambar, guntur bergemuruh membuat Kein bergidik merinding. Kein menggenggam erat gelas coklat panasnya hingga gelasnya bergetar.
“Diaarrr...” guntur bergemuruh keras membuat Kein semakin bergetar hebat. Dia meletakkan gelasnya lalu memeluk keras bantalnya.
‘plak’ seorang ibu menampar gadis kecil berkepang dua. Gadis itu menangis, ‘jangan pernah lagi mengajak anak saya bermain hujan!’ Ibu itu berlalu meninggalkan sang gadis.
“TIDAAKKK...” Kein berteriak mengingat masa kecilnya yang kelam.
“Ke..kein, ba huh ntu mama nak ahh.” Mamanya berjalan tertatih ke arah Kein. Menyadari hal itu Kein langsung berlari meraih laci meja. Dia mencari alat (alat bantu nafas untuk orang asma) lalu membantu mamanya memakaikan alat tersebut. Dengan wajah khawatir sekaligus takut Kein pun membantu mamanya duduk perlahan. Pikirannya kacau, melihat kondisi mamanya.
“Panggilkan huhh Pak Nandi!” pinta mamanya di tengah sakitnya.
Wajah Kein mendadak gemetar. Kein kaget dengan perintah itu. Bukannya tidak mau tapi dia harus memilih antara mamanya dan ketakutannya. Ditatapnya wajah mamanya. Dia merasa kasihan, takut sekaligus bingung. Akhirnya Kein memilih berlari keluar di tengah rasa takutnya, menembus derasnya peluru air. Mencoba mengalakan rasa takut yang selama ini bersemayam di fikirannya. Bertekad menemui Dokter Nandi dengan berlari.
Tubuh kecil dara 16 tahun itu terus berlari melawan ketakutannya, hujan. Belum sampai separuh perjalanan dia merasa kelelahan, tubuhnya menggigil hebat, wajahnya pucat pasi, dan air matanya bercucuran. Kein terus berlari dengan kekuatan yang tersisa. Sampai akhirnya ia terduduk di pinggir jalan di tengah guyuran hujan. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Dari kursi kemudi turun seorang laki-laki, yang tak lain adalah Aldi. Dia keluar berpayungkan jaket lalu mendekati Kein. Tanpa berkata Aldi memayungi Kein lalu mengajaknya masuk mobil. Kein menurutinya.
“Mau kemana?” tanya Aldi ketika telah berada dalam mobil.
“Rumah Dokter Nandi, asma mama kambuh.” Balas Kein sambil terbata-bata.
Mobil melaju dengan cepat ke arah tujuan. Kein merasa agak mendingan setelah berselimut jaket Aldi meski masih gemetar dan takut. Aldi tak ingin mempertanyakan hal itu. Dia hanya sesekali menatap iba gadis di sampingnya tersebut.
“Kamu kenapa Kein?” batin Aldi miris. Serasa hatinya tersayat melihat Kein yang masih menangis. Mereka sampai tujuan. Kein hendak turun tapi ditahan oleh Aldi.
“Aku saja Kein.” Kata Aldi lalu turun dari mobil. Dia memasuki halaman rumah mewah di depannya yang tak berpagar. Sebuah pintu depan rumah itu tak tertutup rapat membuat Aldi bisa melihat ada orang di rumah itu. Aldi menekan bel rumah itu lalu mengucap salam. Seseorang menyahut dari dalam diikuti langkah kaki mendekati pintu.
“Pak tolong saya, saya butuh pertolongan anda saat ini.” Jelas Aldi sebelum ditanya. Tanpa menjawab, orang tersebut berlari ke dalam. Belum ada satu menit orang itu telah keluar lagi. “Mari ikut saya!” ucap Aldi lalu belari ke mobilnya. Dokter itu pun hanya menurutinya.
Tiga orang tersebut berlari dengan tergesa-gesa menuju ruang keluarga rumah kein. Dengan cepat Dokter Nandi menangani mama Kein. Kein kembali menangis melihat nafas mamanya yang tersengal-sengal. Aldi yang masih di sampingnya kemudian memeluk Kein. Diusapnya rambut basah Kein dengan penuh kasih sayang. Berusaha menguatkannya.
“Kein, kamu tenang ya, mama kamu pasti baik-baik saja.” Aldi melepas pelukannya lalu menatap Kein. “Mama kamu nggak suka liat kamu cengeng Kein.” Ucap Aldi sambil menarik pelan hidung Kein yang tidak mancung. Kein tersenyum kecil lalu menghampiri Dokter Nandi.
“Gimana mama saya dok?” tanya Kein sambil menatap wajah mamanya. Dokter itu hanya menatap Kein tak menjawab. Gadis itu menatab iba pada tubuh mamanya yang terkulai lemas. Kein kembali menangis, melihat mamanya tak sadarkan diri dan wajahnya pucat. “Mama kenapa?” Kein bertanya di sela-sela tangisnya. Dia terduduk lemas sambil memegangintangan mamanya.
“Hiks, mama,” ia menangis perlahan sambil mengguncang tubuh mamanya. “mama  mama MAMAAA...” Kein berteriak seakan tak percaya akan hal ini. Aldi mendekatinya lalu ikut duduk. Dia mengelus punggung Kein untuk menguatkannya.
Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian pintu terbuka disusul munculnya Indra. Karena mendengar suara tangis dari ruang keluarga, dia pun berlari menuju kesana. Tubuhnya langsung lemas ketika mengetahui keadaan mamanya yang terbujur lemas di depan Kein, air matanya menetes namun berusaha untuk tetap tegar.
“Mama saya kenapa dok?” suara Indra terdengar parau. Sekali lagi dokter itu hanya diam, karena tak kunjung dapat jawaban. Indra pun memastikannnya sendiri. Dipegangnya pergelangan tangan kiri mamanya. “Dok, mama saya hanya pingsan kan?” dokter itu tak menjawab. Dokter itu mengambil sesuatu dari tasnya dan memberikan sebuah resep obat pada Indra.
“Maaf  bukannya saya tidak mau menjawab, tapi saya bingung cara menjelaskannya. Beliau hanya pingsan, asmanya sudah tidak kambuh. Dia pucat karena kedinginan. Tolong ambilkan selimut!” jelas sang dokter, membuat Aldi, Indra, terutama Kein bernafas lega. Kein langsung berlari ke kamar untuk mengambil selimut. Bertepatan dengan Kein pergi, mamanya tersadar.
“Mama kenapa kak?” tanyanya pada Indra setelah tersadar.
“Mama gak kenapa-napa, cuma kecapekan aja. Sekarang mama istirahat lagi.” Jawab Indra.
***
Senin telah datang lagi. Karena hari ini masih libur  jadi Kein tidak masuk sekolah. “Ma, Kein ke taman dulu ya, main sama Sweety.” Pamit Kein sambil mengajak Sweety, kucing kesayangannya keluar. Tak lupa dia membawa payung untuk jaga-jaga.
“Iya Kein, hati-hati!” sahut mamanya.                                                   
Sejak kejadian sore itu, Kein bertekat untuk berani terhadap hujan. Dia berfikir, bahwa kadang harus melawan ketakutan untuk menemukan keberanian. Karena setiap ketakutkan diiringi sebuah keberanian. Hanya tinggal bagaimana cara kita mengendalikannya.
Bertepatan Kein sampai di taman. Hujan perlahan turun membasahi bumi. Dia berhenti di bawah pohon, sudah ada Aldi menunggunya disana. “Sudah siap?” tanya Aldi. Kein tersenyum lalu mengangguk mantap. Payung yang dibawanya dia sandarkan di pohon, lalu dia menari dengan tetesan air yang mengalir mulai deras.
“Aku tidak takut lagi. Masa lalu ada untuk sebuah pelajaran bukan untuk ditakuti. Aku berani!” Kein berteriak di tengah derasnya hujan.
“Aku di sini, akan menemani sahabatku, melawan kerasnya dunia. Mengajaknya melihat indahnya pelangi setelah redanya guyuran hujan.” Ikrar Aldi membuat Kein menatapnya aneh. Mengetahui tatapan aneh itu. Dia kemudian tertawa lepas. Aldi mendongakan wajah Kein lalu dia dekatkan wajahnya. Kein menutup matanya. Takut atas tindakan Aldi. Jarak antara wajah mereka hanyalah tiga inci, membuat mereka bisa merasakan nafas masing-masing. Kein masih menutup matanya. Tapi Aldi malah menatap kein lekat. Dia kembali mendekatkan wajahnya dengan perlahan.
“Kamu lucu kalo lagi ketakutan.” Kein membuka mata lalu mendapati Aldi berada dua inci di depannya. Pipinya memerah. Beberapa saat mereka bertatapan. Dengan cepat Aldi menarik pelan hidung Kein lalu berlari sambil tertawa.
“Kebiasaan kamu Al. Awas aja ntar gue gelitikin lo!” ancam Kein sambil mengejar Aldi. Mereka pun berkejar-kejaran di bawah hujan disaksikan oleh Sweety yang setia menunggu dua insan yang sedang berdamai dengan hujan itu di bawah pohon.
“Nggak perlu takut ngadepin dunia Kein. Banyak orang di sekelilingmu yang akan menemanimu dengan setia!” teriak Aldi saat Kein jauh berada di belakangnya.
Serasa kau masih bersamaku disini. Menemani hari-hariku, memelukku ketika aku bersedih, menjadi motivator pribadi ketika aku sedang down, orang yang pertama bahagia ketika aku berhasil akan sesuatu. Ya itu kamu, dan aku masih merasakan desahan nafasmu sampai saat ini.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanfaatan Kotoran Ternak Untuk Biogas

Cara Mendapatkan Pulsa gratis